Friday 29 October 2010

Peri Cintaku

di dalam hati ini hanya satu nama
yang ada di tulus hati ku ingini
kesetiaan yang indah takkan tertandingi
hanyalah dirimu satu peri cintaku
benteng begitu tinggi sulit untuk ku gapai

aku untuk kamu, kamu untuk aku
namun semua apa mungkin iman kita yang berbeda
tuhan memang satu, kita yang tak sama
haruskah aku lantas pergi meski cinta takkan bisa pergi

benteng begitu tinggi sulit untuk ku gapai

aku untuk kamu, kamu untuk aku
namun semua apa mungkin iman kita yang berbeda
tuhan memang satu, kita yang tak sama
haruskah aku lantas pergi meski cinta takkan bisa pergi

bukankah cinta anugerah berikan aku kesempatan
tuk menjaganya sepenuh jiwa oooh

tuhan memang satu, kita yang tak sama
haruskah aku lantas pergi meski cinta takkan bisa pergi

tuhan memang satu, kita yang tak sama
haruskah aku lantas pergi meski cinta takkan bisa pergi

Tuesday 26 October 2010

Tugas Softskill

Wayang


Batara Guru (Siwa) dalam bentuk seni wayang Jawa.

Wayang dikenal sejak zaman prasejarah yaitu sekitar 1500 tahun sebelum Masehi. Masyarakat Indonesia memeluk kepercayaan animisme berupa pemujaan roh nenek moyang yang disebut hyang atau dahyang, yang diwujudkan dalam bentuk arca atau gambar.
Wayang merupakan seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Pulau Jawa dan Bali. Pertunjukan wayang telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003, sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan sangat berharga (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity).
Ada versi wayang yang dimainkan oleh orang dengan memakai kostum, yang dikenal sebagai wayang orang, dan ada pula wayang yang berupa sekumpulan boneka yang dimainkan oleh dalang. Wayang yang dimainkan dalang ini diantaranya berupa wayang kulit atau wayang golek. Cerita yang dikisahkan dalam pagelaran wayang biasanya berasal dari Mahabharata dan Ramayana.
Pertunjukan wayang di setiap negara memiliki teknik dan gayanya sendiri, dengan demikian wayang Indonesia merupakan buatan orang Indonesia asli yang memiliki cerita, gaya dan dalang yang luar biasa.
Kadangkala repertoar cerita Panji dan cerita Menak (cerita-cerita Islam) dipentaskan pula.
Wayang, oleh para pendahulu negeri ini sangat mengandung arti yang sangat dalam. Sunan Kali Jaga dan Raden Patah sangat berjasa dalam mengembangkan Wayang. Para Wali di Tanah Jawa sudah mengatur sedemikian rupa menjadi tiga bagian. Pertama Wayang Kulit di Jawa Timur, kedua Wayang Wong atau Wayang Orang di Jawa Tengah, dan ketiga Wayang Golek di Jawa Barat. Masing masing sangat bekaitan satu sama lain. Yaitu "Mana yang Isi(Wayang Wong) dan Mana yang Kulit (Wayang Kulit) harus dicari (Wayang Golek)".

Wayang dan Para Pakar Budaya Dunia
Bangsa Indonesia, baik yang di kota maupun di pelosok-pelosok kampung sangat yakin dan begitu mudahnya mengatakan bahwa wayang adalah warisan peninggalan seni budaya nenek moyang yang “adi luhung”. Namun penulis yakin bahwa tidak banyak orang yang tahu persis apa makna “adi luhung” tersebut.
Menurut Ki Narto Sabdho dalam (rekaman Pagelaran Wayang Lampahan Kresna Dutha, 1978) menjelaskan bahwa istilah “adi luhung” berasal dari kata “adi” dan “luhung”. “Adi” merupakan padankata (Jawa: dasanama) atau punya makna “indah” (dalam istilah Jawa “linuwih”), sedangkan “luhung” merupakam sinonim dari kata “luhur” yang dapat diberikan makna “mengadung nilai kebijakan (filsafat) tinggi”. Dengan demikian, menurut Ki Narto Sabdho lebih lanjut, “adi luhung” dapat diberi makna bernilai keindahan dan bernilai filosofis yang sangat tinggi.
Pernyataan Ki Narto Sabdho di atas tidaklah berlebihan. Hal ini terbukti banyak para ahli filsafat, seni, dan budaya, baik dari dalam negeri maupun dari mancanegara yang begitu antusias untuk mengadakan pendekatan pemahaman, bahkan mengadakan penelitian-penelitian tentang wayang di Indonesia.
Beberapa peneliti wayang dari dalam negeri misalnya, Sri Moelyono, Suyamto,Umar Khayam, Marbangun Hardjowirogo, Maria A. Sardjono, S Padmosoekotjo, Nyoman S.. Pendhit, Pandam Guritno, Seno Sastro amidjojo, Purbotjaroko, Sutarno, Subagyo WS., Yosodipuro, Kethut Nila, dan lain-lain.
Sedangkan peneliti dari mancanegara beberapa di antaranya adalah Thomas Stanford Raffles, William Buck, G.A.J. Hazeu, W.H. Rassers, Brandes, Cohen Stuart, Kerns, Nicholas J. Krom, Lin Yutang, Zoetmulder, Radhakrishnan, Rajagopalachari, Karel Frederik Winter, B.R.O.G.  Anderson, Harry Aveling, G. Coedes,George A. Fowler, Roggie Cale, Joe C. Barlett, Clifford Geertz, Howard  P. Jones, K. Chaytanya, dan lain-lain.
Tentu saja masih banyak para pemerhati, peminat, dan peneliti wayang  yang tidak mungkin kesemuanya dicatat di sini. Lebih-lebih para peneliti terbaru, para peneliti muda, baik dalam maupun mancanegara, yang masih terus dan terus meneliti wayang.
Terlebih lagi setelah pada tahun 2002 pakar budaya dari seluruh jagat raya berkumpul dan berkomitmen di Paris Perancis, yang akhirnya melahirkan sebuah deklarasi luhur demi keselamatan warisan budaya yang disebut “wayang”.
Isi deklarasi Paris tersebut: “WAYANG ADALAH MERUPAKAN WARISAN BUDAYA AGUNG DUNIA”. Konsekuensi dari deklarasi ini adalah sebuah rekomendasi kepada pemerintah negara di segenap penjuru dunia termasuk Lembaga Kebudayaan di PBB, agar ikut melestarikan, mengembangkan, dan menyelamatkan warisan budaya dunia yang dikatakan agung atau adi luhung ini.
Wayang dan Asal-Usulnya
Masyarakat Indonesia pada umumnya, baik yang berada pada komunitas awam budaya maupun komunitas sadar budaya, sangat yakin bahwa wayang adalah kesenian asli milik bangsa Indonesia. Namun  sebagian besar dari kita, belum menemukan alasan yang maton, tentang klaim keaslian budaya wayang milik bangsa Indonesia.
Untuk mendasari keyakinan tersebut diperlukan pemahaman sejarah wayang itu sendiri, meski tak harus banyak atau sepenuhnya. Untuk itu di bawah ini  akan dipaparkan pendapat Sri Mulyono (dalam bukunya: Wayang, Asal-Usulnya, Filsafat dan Masa Depannya: 1975).
Pendapat Sri Mulyono ini merupakan perpaduan pendapat  dari hasil penelitian literer karya pakar-pakar wayang dari mancanegara dan karya peneliti yang bersal dari bangsa Indonesia sendiri. Buku tentang wayang dan segala seluk-beluknya yang diteliti oleh Sri Mulyono antara lain buku-buku karya Soeroto, KGA Koesoemodilogo, Nyoman S.. Pendit, G.A.J. Hazeu, W.H. Rassers, Brandes, Cohen Stuart, dan Kerns.
Dari para pakar wayang di atas dapat disimpulkan oleh Sri Mulyono tentang asal-usul wayang tersebut, terbagi menjadi dua kelompok pendapat, antara lain:
(1) Pertunjukan wayang  sebenarnya bersumber, atau setidak-tidaknya terpengaruh oleh pertunjukan tonil India Purba, yang disebut Chayanataka.
Dalam keterangannya lebih lanjut, Sri Mulyono memberi penjelasan bahwa Chayanataka itu semacam sandiwara atau drama purba, dengan pemain orang tetapi dihalangi semacam tabir, atau layar tipis.
Seluruh penonton berada di balik tabir, sehingga hanya dapat melihat bayang-bayang para pemainnya. Model melihat tonil sandiwara hanya melihat bayang-bayang inilah yang dijadikan alasan sebagian para peneliti untuk menyimpulkan bahwa wayang berasal dari India.
Hal ini mirip dengan cara menyaksikan pertujukan wayang pada jaman dahulu (juga sampai masa kini sebagian penonton masih melakukan cara ini), yaitu menonton pergelalaran wayang dari belakang kelir.
(2). Kelompok  yang  lain berpendapat  bahwa  pertunjukan  kesenian wayang  sebenarnya  merupakan produk seni budaya asli Indonesia. Hal ini diperkuat dengan alasan keberadaan peralatan yang digunakan.
Peralatan-peralatan tersebut antara lain anak wayang, gamelan, keprak, cempala, jenis-jenis gedhing dan cara mengiringi ilustrasi saat pergelaran wayang, dan segala asesorisnya. Semua perlengkapan tersebut tidak ada di satu negarapun kecuali hanya di negara Indonesia.
Satu-satunya hal yang mempengaruhi pertunjukan wayang pada perkembangan selanjutnya adalah cerita atau lakonnya, yang biasanya diambil dari epos Mahabharata dan Ramayana.Namun kedua buku sumber cerita tersebut telah diadopsi, dimodifikasi dan digubah agar lebih sesuai dengan perilaku budaya, etika, dan estetika asli bangsa Indonesia.
Hal ini akhirnya membawa resiko ambiguitas antara cerita Mahabharata/ Ramayana dengan gubahan cerita para Empu dari bumi Nusantara, semisal Empu Sedah dan Panuluh dengan karyanya Bharatayudha, Empu Kanwa dengan karyanya Arjunawiwaha, Empu Darmaja dengan karyanya Gatutkaca Sraya, dan lain sebagainya.
Contoh karya-karya tersebut kadang memang mengalami beberapa benturan ketidakserupaan dengan buku epos aslinya, Mahabharata dan Ramayana, baik alur cerita, latar belakang tempat dan waktu, serta tokoh dan penokohannya.
Contoh yang lebih jelas lagi misalnya, pada epos Mahabharata dan Ramayana tidak ada tokoh punakawan Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong, tetapi pada pergelaran wayang di manapun di Indonesia, tokoh punakawan tersebut tak pernah untuk tak dihadirkan.
Inilah yang dijadikan alasan kuat oleh para ahli pewayangan, bahwa wayang memang produk seni dan budaya asli Indonesia.
Pendapat
Pada bagian tulisan di atas telah dipaparkan bahwa antusiasme para peneliti dan peminat kesenian wayang tak kunjung berhenti, bahkan sampai kapanpun. Para peminat wayang dari mancanegara semakin meningkat tajam dari sisi kuantitas maupun kualitasnya.
Saat ini sudah tak terhitung dengan jari berapakah jumlah  seniman wayang yang berkebangsaan Perancis, Belanda, Belgia, Amerika Serikat, Australia, Selandia baru, Jepang, China, Korea, Thailand, dan bahkan India.
Mereka tidak sekedar mampu mendalang, tapi juga menjadi pengrawit, pesinden, dan kompetensi lain yang erat terkait dengan dunia wayang, termasuk tatah sungging. Fenomena ini sangat jelas dapat dilihat di kota utama pelestari wayang, misalnya di Surakarta dan sekitarnya, dan Jogjakarta, Surabaya, Malang, Bandung (wayang golek Sunda) dan Denpasar Bali (wayang kulit Bali).
Di lain sisi, kita betul-betul merasakan bahwa antusiasme kita sebagai pewaris asli seni budaya wayang justru mengalami kemunduran. Hal ini tampak pada tingkat pengenalan wayang oleh para remaja dan anak-anak.
Mereka pada umumnya merasa asing dengan tokoh-tokoh pewayangan, seni karawitan, dan tembang-tembang tradisional semacam tembang dolanan dan macapat. Apalagi jenis tembang-tembang yang lain semisal tembang tengahan Jurudemung, Balabak, Wirangrong, dan tembang-tembang gedhe semisal Kenya Kedhiri, Pamularsih, Sekarteja, dan lain-lain.
Melihat fenomena ini maka tak salah kalau kemudian  muncul anekdot atau joke-joke yang terlontar dari para budayawan kita, misalnya ada yang mengatakan bahwa sekian tahun kemudian kita musti belajar nembang dan sulukan ke negeri Matahari terbit.
Mungkin kita juga perlu sekedar belajar menabuh gender ke negara Kanguru, belajar menggesek rebab ke Selandia Baru, belajar sabet ke Perancis, belajar mancal kecrek ke Suriname, belajar menabuh bonang ke Amerika dan belajar-belajar tentang lainnya di dunia pewayangan.
Saat ini joke-joke tersebut lebih cenderung humoristik. Namun siapa tahu situasi dan kondisi tersebut benar-benar terjadi? Maka dari itu kita tak boleh terlena dari hal-hal yang kelihatannya sederhana tentang dunia wayang ini. Kita musti ingat bahwa masyarakat dunia begitu tingginya menghargai seni budaya kekayaan kita. Mengapa justru kita semakin lupa bahwa kitalah pewaris asli harta budaya tersebut.
Kalau alasan kita untuk hal ini terkait dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern  yang merambah begitu cepat di negari Indonesia tercinta ini, rasanya tidak tepat dan tidak bijaksana. Hal ini dikarenakan bahwa tingkat kemajuan iptek tidak hanya terjadi di negara kita, bahkan kita mengakui di negara barat, dan Asia timur justru tingkat kemajuan ipteknya jauh meninggalkan kita.
Tapi mengapa justru mereka sangat antusias terhadap pelestarian dan pengembangan wayang?
Inilah sesuatu permasalahan tentang dunia seni budaya pewayangan kita saat ini. Intinya kita harus segera menyadari pentingnya merawat, memupuk, melestarikan dan mengembangkan wayang di bumi Indonesia Raya.
Sasaran yang tepat untuk dibina, dikenalkan, dan diajarkan hal seluk beluk wayang tentu saja para remaja dan anak-anak usia sekolah, yang merupakan generasi penerus dan pemegang tongkat estafet kekayaan budaya yang tak ternilai harganya. Jangan sampai wayang ini tiba-tiba diklaim sebagai asset budaya milik bangsa lain, sebagaimana Reog Ponorogo yang telah dirampok dan dipatenkan oleh negara tetangga kita. Bagaimana dengan kita tentang wayang?


Sumber: wikipedia 
             http://sulang.wordpress.com/2009/03/12/wayang-kita-dan-jagat-raya/

shared